Lalai Dengan Kesibukan Mencari Keuntungan Duniawi Dan Cara Mengatasinya
LALAI DENGAN KESIBUKAN MENCARI KEUNTUNGAN DUNIAWI DAN CARA MENGATASINYA
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
Mencari keuntungan duniawi dan kelalaian, apa hubungannya? Bukankah setiap aktivitas dalam hidup manusia berpotensi untuk melalaikan mereka dari mengingat Allâh Azza wa Jalla ? Lantas mengapa sifat lalai seolah-olah diidentikkan dengan usaha berjual-beli dan mencari keuntungan materi? Bukankah dokter, pegawai, buruh bahkan pengangguranpun bisa lalai?
Jawabannya, memang benar bahwa semua aktivitas manusia berpotensi untuk melalaikan mereka dari mengingat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , akan tetapi, tahukah anda bahwa sebagian dari para ulama menyifati usaha perdagangan dan jual-beli sebagai urusan dunia yang paling besar pengaruh buruknya dalam menyibukkan dan melalaikan manusia dari mengingat Allâh Azza wa Jalla [1] ?
Inilah yang terungkap dalam makna firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh , mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi guncang [An-Nûr/24:37].
Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “(Dalam ayat ini) Allâh Azza wa Jalla menyebutkan perdagangan secara khusus karena inilah (aktivitas) yang paling besar (potensinya) dalam melalaikan manusia dari mengingat Allâh Azza wa Jalla.[2] Hal ini dikarenakan aktivitas usaha perdagangan berhubungan dengan harta benda dan keuntungan duniawi, yang tentu saja ini merupakan ancaman fitnah (kerusakan) besar bagi seorang hamba yang tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk menghadapi dan menangkal fitnah tersebut.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ
Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.
Maksudnya : menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allâh -lah pahala yang besar [At-Taghâbun/64:15] [3]
Oleh karena itu, pasar dan tempat berjual-beli yang merupakan tempat kesibukan mengurus harta perniagaan adalah tempat berkumpulnya syaitan dan bala tentaranya, yang selalu berusaha untuk membuat manusia lalai dan lupa mengingat Allâh Azza wa Jalla [4] .
Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهَا
Tempat yang paling dicintai Allâh adalah masjid dan yang paling dibenci-Nya adalah pasar[5]
Di dalam Islam ada petunjuk agar seorang tidak lalai dan terjerat tipu daya syaitan, petunjuk ini terutama untuk para pedagang dan pengusaha sehingga dengan menjalankannya -dengan taufik dari Allâh Azza wa Jalla – akan memudahan mereka untuk senantiasa mengingat Allâh dan terhindar dari kelalaian karena mencari keuntungan duniawi.
Beberapa Petunjuk Islam Dalam Memudahkan Diri Terhindar Dari Kelalaian dan Tipu Daya Syaitan
1. Selalu berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla memohon keteguhan iman dan penjagaan dari segala bentuk fitnah yang merusak agama.
Di antara doa yang sering diucapkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
Ya (Allâh ) Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu. [6]
2. Berusaha menjaga batasan-batasan syariat Allâh Azza wa Jalla dalam semua aktivitas yang dilakukan, baik dalam urusan agama, jual-beli, pergaulan maupun urusan dunia lainnya. Karena semua ini merupakan sebab utama yang bisa mendatangkan penjagaan dan taufik dari Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
Jagalah (batasan-batasan syariat) Allâh! maka Allâh akan menjagamu (dari segala keburukan). Jagalah (batasan-batasan syariat) Allâh! maka kamu akan mendapati Allâh di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu). [7]
3. Berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dengan hati dan lisan sebelum masuk pasar dan tempat berjual-beli lainnya, serta selalu mengingat-Nya, agar terhindar dari kelalaian.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa masuk pasar kemudian membaca (dzikir):
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، يُحْيِي وَيُمِيتُ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ،
Tiada sembahan yang benar kecuali Allâh semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kerajaan atau kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian, Dialah yang menghidupkan dan mematikan, Dia lah yang maha hidup dan tidak pernah mati, ditangan-Nya segala kebaikan, dan Dia maha mampu atas segala sesuatu
(barangsiapa membaca dzikir di atas-red) maka Allâh akan menuliskan baginya satu juta kebaikan, menghapuskan darinya satu juta kesalahan, dan meninggikannya satu juta derajat – dalam riwayat lain- : dan membangun sebuah rumah di surga untuknya.[8]
Imam ath-Thîbi rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang berzikir kepada Allâh (ketika berada) di pasar maka dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang keutamaan mereka:
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ﴿٣٧﴾ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allâh , mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allâh memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allâh menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allâh memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas [An-Nûr/24 :37-38] [9].
4. Bersegera melaksanakan shalat lima waktu ketika adzan dikumandangkan dan meninggalkan segala kesibukan jual-beli dan urusan dunia lainnya.
Imam al-Qurthubi t berkata: “Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan atau dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka ketika tiba waktu shalat fardhu hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allâh Azza wa Jalla ) dalam ayat tersebut (di atas).”[10]
5. Berusaha meluangkan waktu untuk melaksanakan shalat Dhuha, terutama di saat umat manusia sedang lalai dan disibukkan dengan urusan jual-beli. Inilah yang disebut sebagai shalat al-awwâbîn, yaitu orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dengan selalu mentaati-Nya dan bertaubat dari perbuatan dosa [11].
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
Shalat para al-Awwâbîn (di waktu dhuha) adalah ketika anak-anak onta kepanasan (karena cahaya matahari) [12].
Shalat pada waktu ini dinamakan shalatnya para al-Awwâbîn karena pada waktu ini biasanya manusia sedang disibukkan dengan urusan dan perniagaan dunia, akan tetapi hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla yang shalih dan selalu kembali kepada-Nya memanfaatkan waktu ini untuk beribadah dan berzikir kepada Allâh Azza wa Jalla [13].
Demikianlah dan semoga bermanfaat bagi para pembaca dengan izin Allâh Azza wa Jalla, amîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat tafsir Fathul Qadîr (4/52).
[2] Ibid.
[3] Lihat tafsir Faidhul Qadîr (2/507).
[4] Lihat kitab Tuhfatul ahwadzi (9/272) dan Faidhul Qadîr (1/170).
[5] HSR. Muslim (no. 671).
[6] HR. At-Tirmidzi (4/448), Ibnu Majah (no. 3834) dan Ahmad (3/112), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[7] HR. At-Tirmidzi (4/667) dan Ahmad (1/293), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[8] HR. At-Tirmidzi (no. 3428 dan 3429), Ibnu Majah (no. 2235), ad-Dârimi (no. 2692) dan al-Hâkim (no. 1974) dari dua jalur yang saling menguatkan. Dinyatakan hasan oleh Imam al-Mundziri (dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab ’Aunul Ma’bud 9/273) dan Syaikh al-Albani dalam kitab Shahihul jâmi’ (no. 6231).
[9] Dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul ahwadzi (9/273).
[10] Kitab Tafsir al-Qurthubi (5/156).
[11] Lihat Syarhu Shahih Muslim (6/30) dan Bahjatun nâzhirîn (2/310).
[12] HSR Muslim (no. 748) dan Ibnu Hibban (no. 2539) dari Zaid bin Arqam z .
[13] Lihat kitab Taudhîhul ahkâm (2/445).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9668-lalai-dengan-kesibukan-mencari-keuntungan-duniawi-dan-cara-mengatasinya.html